TUGAS
HUKUM AGRARIA
Lesa S.,H
Nim. B2A214029
Dosen : Yulia Qamaryanti. SH.M.Hum
KEMENTERIAN RISTEK DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
MAGISTER KENOTARIATAN
BANJARMASIN
2014
Soal
Cari jurnal mengenai hukum agraria, siapa saja penulisnya, lalu dianalisa/dikritisi sampai dengan 1-2 halaman. Lalu simpulkan menurut pendapat kalian. Setuju atau tidakkah tentang jurnal itu. Lampirkan artikel itu atau fhotocopy. Analisa di halaman depan dan lampirkan jurnal itu di belakang lalu dijilid.
Jawaban
Saya setuju dengan jurnal tersebut, karena berdasarkan uraian dari arah dan maksud daripada jurnal tersebut ialah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka pertanahan nasional dalam kaitannya pemerintah sebagai pemberi kebijakan dalam hal agraria. Dengan adanya revitalisasi kebijakan agraria maka ditemukan pemecahan masalah bagi masyarakat dalam hal memerlukan perlindungan hak atas tanah dan masa depan kehidupan bagi kesejahteraan sosial ke depannya. Upaya revitalisasi kebijakan agraria ini dapat dicapai apabila terdapat kesepahaman tentang hakikat tanah untuk kesejahteraan melalui penguasaan tanah oleh Negara, sesuai dengan amanat Konstitusi.
Konflik agraria akan menjamur di Indonesia jika tidak cepat diatasi baik dari pihak Pemeritah maupun dari pihak masyarakat. Tentunya dimulai dengan prisip nasionalitas dimana dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pasal 33 ayat 3 disebutkan, ’’Bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’’.
Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bukanlah bertindak sebagai pemilik tanah, namun sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak sebagai badan penguasa. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut, perkataan “dikuasai” dalam pasal tersebut bukanlah “dimiliki” akan tetapi memberikan wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk pada tingkatan kekuasaan tertinggi melakukan ;
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya;
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dalam Pasal 9 UUPA juga secara jelas menyebutkan bahwa hanya Warga Negara Indonesia saja yang boleh mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa. Badan-badan hukum Indonesia juga mempunyai hak-hak atas tanah, tetapi untuk mempunyai hak milik hanya badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang dapat mempunyai hak Milik atas Tanah, antara lain : Bank bank yang didirikan oleh Negara, Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-undang Nomor 79 Tahun 1963, badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria setelah mendengar pendapat Menteri Agama, dan badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian atau mendengar Menteri Sosial.
Kemudian pasal 19 UUPA mengamanahkan bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum, pemerintah wajib melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia, hal ini dilakukan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat serta keperluan lalu lintas sosial ekonomis masyarakat. Secara legal formal pendaftaran tanah menjadi dasar bagi status/kepemilikan tanah bagi individu atau badan hukum selaku pemegang hak yang sah secara hukum.
Eksistensi Badan Pertanahan Nasional yang memiliki tugas dan kewajiban di bidang pertanahan dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam salah satu pertimbangan terbitnya peraturan Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga perlu di atur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Komite Pertanahan. Komite Pertanahan ini bertujuan untuk menggali pemikiran dan pandangan dari pihak – pihak yang berkepentingan dengan bidang pertanahan dan dalam rangka perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan, adapun tugas Komite Pertanahan yaitu memberikan masukan, saran, dan pertimbangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam perumusan kebijakan nasional dibidang pertanahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 diganti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, tentang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangana pemerintah pusat dan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Dengan adanya Hukum Pertanahan Nasional diharapkan terciptanya kepastian hukum di Indonesia. Untuk tujuan tersebut oleh pemerintah ditindaklanjuti dengan penyediaan perangkat hukum tertulis berupa peraturan-peraturan lain dibidang hukum pertanahan nasional yang mendukung kepastian hukum serta selanjutnya lewat perangkat peraturan yang ada dilaksanakan penegakan hukum berupa penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif.
Macam-macam hak atas tanah dalam sistem pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria menurut UUPA dibedakan dalam dua katagori : (1) hak primer yaitu semua hak yang diperoleh langsung dari negara dan (2) hak sekunder artinya semua hak yang diperoleh dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan perjanjian bersama, kemudian dikembangkan menjadi 4 (empat) hak atas tanah, yaitu Hak Milik, HGU, HGB, dan Hak Pakai. Pengaturan HGU dan HGB dalam UUPA menunjukkan bahwa UUPA tidak konsisten, karena HGU dan HGB sebetulnya merupakan hasil konversi dari hak opstal dan hak erfpacht. Kalau mendasarkan diri pada hukum adat, maka hak atas tanah itu hanya hak milik dan hak untuk menggunakan tanah baik tanah negara maupun tanah hak milik orang lain (yang idealnya disebut hak pakai).
Dalam kaitannya dengan jurnal tersebut, dapat dilihat bahwa memang yang menjadi acuan permasalahan salah satunya ialah pengaturan penguasaan tanah yang memicu ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah, baik di daerah perkotaan maupun di daerah pendesaan yang telah menimbulkan ketidakadilan dalam penguasaan/pemilikan tanah yang terus terkumulasi kepada pemilik modal. Selain itu juga, jaminan kepastian hukum yang dirasakan masih dalam posisi lemah.
Padahal Indonesia merupakan Negara agraris dan memiliki potensi sumber kekayaan alam untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. Namun dalam pengelolaannya masih terdapat permasalahan tata ruang dan pemanfaatan kawasan, baik itu untuk sektor kehutanan, partanian, maupun pertambangan.
Pada jurnal tersebut memang menitikberatkan pada pengelolaan sumber kekayaan alam hendaknya pada aspek kesejahteraan sosial, dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada di daerah, dengan ditopang oleh tegaknya rule of law dan disertai dengan kompetensi aparatur yang mampu mengedepankan dialog dalam penyelesaian masalah, khususnya di bidang agrarian namun dalam landasan yuridis yang mengatur masalah keagrariaan/pertanahan, tidak sepenuhnya dilaksanakan secara konsekuen dengan berbagai alasan, sehingga menimbulkan masalah pertanahan. Sumber berbagai konflik atau masalah bisa disebabkan dari ;
1. Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata ;
2. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan nonpertanian;
3. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
4. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah atau hak ulayat;
5. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.
Apabila ada permasalahan hendaknya diselesaikan melalui jasa hukum, baik melalui pelaksanaan peraturan perundangan maupun melalui putusan pengadilan. Namun karena pendaftaran tanah di Indonesia baru sekitar 30 persen dan juga lembaga menangani masalah pertanahan terutama lembaga peradilan tidak mendapat pengakuan dan kepercayaan masyarakat karena ketidakmampuannya menyelesaikan masalah secara adil dan merata, maka akibatnya permasalahan pertanahan sering diselesaikan dengan bahasa sendiri oleh masyarakat berupa aksi pengerahan massa bahkan tidak jarang memicu bentrokan fisik yang bisa memakan korban jiwa sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Secara teoritis, penanganan masalah pertanahan dapat dilakukan sendiri oleh instansi yang menangani masalah pertanahan tanpa harus selalu menyerahkannya pada badan peradilan. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepada Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999, diatur bahwa dalam penyelesaian sengketa pertanahan diupayakan penanganannya oleh instansi BPN sendiri, hanya apabila masalahnya dianggap rumit dan terkait dengan pejabat/instansi lain, tim yang dibentuk harus berkoordinasi dengan instansi lain.
Jadi, kesimpulannya menurut pendapat saya dalam jurnal tersebut yang membahas tentang bagaimana analisis secara komprehensif dan ditinjau dari analisa aspek-aspek geografi, demografi, sumber daya alam, ideology, politik, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan sehingga permasalahan dapat dilihat secara utuh maka hendaknya analisa tersebut dapat menjamin rasa keadilan dann kepastian hukum bagi masyarakat. Karena tanah sebagai sumber kemakmuran rakyat yang diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan turunannya, maka keselarasan antarperaturan perundang-undangan perlu diupayakan dan bagaimana implementasinya seterusnya dilakukan secara konsisten dan konsekuen.
Terutama arah kebijakan tersebut tentu saja tidak mudah untuk mewujudkan atau mencapainya dalam jangka pendek, karena harus disesuaikan dengan situasi dan keadaan yang berkembang pada masa sekarang. Meskipun harapan Lemhannas RI dalam jurnal ini untuk mengadakan Sistem Informasi Pertanahan secara nasional dan menyatakan revitalisasi kebijakan agrarian tersebut sangat mendesak dan harus dilakukan dengan alasan karena implikasinya sangat luas terhadap stabilitas keamanan dan keadilan dalam rangka kesejahteraan. Dalam konteks meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka ketanahan nasional sehingga Lemhannas RI mendukung dilaksanakannya Kongres Agraria, perlu perjuangan dan kerjasama antar pihak mengingat pembaruan agraria sebagai implementasi dari UUPA tahun 1960 merupakan sangat berpengaruh terhadap politik pertanahan nasional.
Penulisnya adalah LEMHANNAS RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar